Penulis: Kader Kolektif Pembebasan Mahasiswa (KPM) UISU
OPINI|PILARADVOKASI.COM – Pemilihan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU) telah selesai, pemilihan berlangsung secara diam-diam tanpa di ketahui mahasiswa pada Rabu, 4 Juni 2025 di Aula Starata dua (S2) FH UISU dan dihadiri oleh Wakil Dekan III FH UISU, Muhammad Faisal Rahendra Lubis, SH, MH.
Pemilihan yang tidak mencerdaskan nilai-nilai demokrasi tersebut di indikasikan sebagai langkah keliru dari Fakultas Hukum dalam memberikan pendidikan politik yang baik bagai mahasiswa, sebab pemilihan yang berlangsung misterius itu tidak mewakili seluruh mahasiswa fakultas hukum, atau bisa dikatakan main tunjuk saja oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kampus adalah miniatur negara, jadi bagaimana demokrasi dalam negara maka begitulah demokrasi dalam perguruan tinggi.
Selanjutnya, semua mahasiswa mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk memilih, dipilih, bersuara dan berbicara, dan hak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin yang berjiwa nasionalis dan berfikir yang revolusioner.
Namun, hal tersebut tidak terjadi di Fakultas Hukum UISU, sebab realitanya fakultas hukum UISU sebagai fakultas yang paham akan regulasi tidak mampu menciptakan demokrasi yang melibatkan seluruh mahasiswa hukum UISU.
Banyak mahasiswa yang keberatan haknya dirampas oleh fakultas, jika dilihat saat ini sangat nyata didepan mata, adanya upaya birokrasi untuk membatasi mahasiswa yang progresif untuk tidak terlibat dalam proses pemilihan, agar DPM dan BEM yang terpilih hanya sekedar Live Service saja tanpa berani memberikan kritik terhadap kampus.
Dengan liciknya birokrasi memanggil beberapa mahasiswa, yang tidak diketahui kapasitas kemapuannya soal demokrasi untuk mengikuti pemilihan tersebut dengan dalih setiap semester hanya diwakilkan oleh ketua kelas atau relator.
Jika, kita mengacu pada Peraturan Rektor No 08 Tahun 2020 tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan UISU, walaupun sejatinya regulasi tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dalam kampus. Akan tetapi, sebagai regulasi yang dikeluarkan oleh birokrasi universitas, seyogianya fakultas mengacu pada regulasi tersebut.
Pemilihan BEM dan DPM FH UISU sama sekali tidak mengacu pada aturan yang ada. Salah satu cacat yang paling jelas adalah tidak ada AD/ART, sehingga pedoman dan tujuan tidak menjalankan roda – roda organisasi. Kalau kita cermati permasalahan ini birokrasi seolah – seolah mempercepat pemilihan sehingga proses pemilihan tersebut tidak mengikuti tata tertib dan pedoman organisasi kemahasiswaan UISU yang mengacu pada peraturan rektor tentang ORMAWA UISU.
Fakultas Hukum yang sehari – harinya ngomongin hak asasi manusia, tentang hukum, pasal dan ayat bahkan membahas tentang demokrasi. Mirisnya, malahan menciderai indentitasnya, pemilihan BEM dan DPM tidak mengacu pada regulasi yang ada serta, tidak mengakomodir hak seluruh mahasiswa fakultas hukum UISU.
Mirisnya lagi, pemilihan BEM dan DPM ini disinyalir menjadi alat permainan birokrasi untuk menutupi dan merendamkan suara mahasiswa. Sehingga, seluruh mahasiswa fakultas hukum UISU harus segera menolak dan memberikan perlawanan terhadap birokrasi fakultas hukum UISU, dan BEM dan DPM terpilih harus segera dibatalkan karena cacat prosedural.
Mahasiswa hukum UISU harus merebut kembali hak suara yang diambil oleh kepentingan birokrasi, rapatkan barisan dan lakukan ruang – ruang diskusi, berkonsolidasi, hingga rapatkan barisan perjuangan untuk memberikan perlawanan terhadap kepentingan hegemoni bukan kepentingan mahasiswa.
Yakin dan percayalah ketika mahasiswa hukum tidak merespon permasalahan ini mereka yang diatas akan selalu membelenggu, menindas, menekan, menghisab, mahasiswa secara perlahan – perlahan hingga suara mahasiswa akan dilarang.
Pramoedya Ananta Toer mengatakan:
“Demokrasi sungguh suatu sistem yang indah. Engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh, ini pun suatu kemenangan demokrasi.”