Pilaradvokasi.com
Sering kali kita temui baik di media sosial maupun secara kasat mata para pihak leasing atau biasa kita sebut sebagai debt collector melakukan penyitaan terhadap barang jaminan dengan cara menghentikan di tengah jalan bahkan sampai menimbulkan kesan yang sifatnya pemaksaan. Dari hal ini bisa kita lihat apakah cara yang dilakukan tersebut sesaui dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku…?, oleh sebab itu mari kita bahas secara singkat terhadap kewenangan pihak leasing dalam melakukan eksekusi/penyitaan terhadap barang jaminan.
Jika berbicara tentang pihak leasing maka tidak terlepas dari jaminan fidusia, apasih fidusia itu…?. fidusia meurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia merupakan “pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang di alihkan kepemilikannya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Sementara Jaminan Fidusia merupakan “hak jaminan atas benda baik yg berwujud maupun yang tidak berwujud dan bergerak maupun tidak bergerak, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memeberikan kedudukan yang diutamakan penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”.(Pasal 1 ayat 1dan 2)
Lantas apakah dibenarkan pihak leasing melakukan eksekusi secara sepihak dan bahkan terkesan melalukan pemaksaan serta tak luput dari penglihatan bahwa adanya oknum polri dan tni juga sering terlihat membersamai dalam melakukan eksekusi/penyitaan barang jaminan..?.
Dalam hal ini fidusia bukan lah merupakan perjanjian pokok, melainkan jaminan ikutan dari suatu jaminan pokok yang mewajibkan bagi para pihak untuk memenuhi prestasi (perjanjian), sehingga jika terdapat cidera janji yang dilakukan oleh debitor, penerima fidusia (pihak leasing/debt collector) berhak untuk menjual benda yang menjadi jaminan fiduisa atas kekuasaannya sendiri, hal ini di atur dalam pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999 dengan ketentuan harus mendaftarkan terlebih dahulu benda yang dijadikan jaminan kepada kantor pendaftaran jaminan fidusia, dikarenakan kedudukan sertifikat jaminan fidusia yang di cantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA” menjadikan sertifikat jaminan fidusia sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Akan tetapi Frasa “kekuatan eksekutorial” dan Frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” terkandung dalam pasal 15 ayat (2 dan 3) bertentangan dengan Undang-undang Dasar tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela barang atau objek jaminan, maka segala mekanisme dan prosedur pelaksanaan eksekusi dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”. Serta dalam frasa “Cidera janji” juga bertentangan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang “adanya ciderajanji tidak di tentukan secara sepihak oleh pihak kreditur melainkan atas dasar kesepakatan bersama atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”. Frasa ini tertuang dalam Putusan MK (Mahkama Konstitusi) No. 18/PUU-XVII/2019.
Sehingga dengan keluarnya Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tersebut menghilangkan hak para pihak kreditur (leasing/debt collector) dalam mengeksekusi barang atau objek jaminan secara sepihak jika tidak adanya perjanjian kedua belahpihak sebelum nya dan pihak debitor tidak mau memberikan secara sukarela barang atau objek jaminan tersebut. Dalam hal ini juga diterangkan bahwa yang memiliki kewenangan melakukan eksekusi terhadap barang atau objek jaminan adalah pengadilan, sehingga jika ditemukan dalam melakukan penarikan atau eksekusi terhadap barang atau objek jaminan dilakukan oleh pihak kreditor (leasing/debt collector) tanpa surat penetapan pengadilan meskipun pihak kreditur dibersamai dengan oknum Polisi atau bahkan TNI, pihak debitor berhak menolak dan tidak memberikan barang atau objek jaminan tersebut.
Jika dalam hal ini pihak kreditur terkesan memaksa dan seolah merampas barang atau objek jaminan tersebut bahkan dalam melakukan eksekusi di tengah perjalanan debitur, pihak debitur berhak membuat laporan kepada pihak yang berwajib dengan pertimbangan pasal 335 dan 368 KUHP tentang perbutan tidak menyenangkan serta ancaman dan perampasan.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa lahirnya sebuah jaminan fidusia di dasari oleh perjanjian pokok yaitu utang piutang yang di jadikan sebagai perjanjian (prestasi) antara pihak debitur dan kreditur, sehingga untuk terciptanya prestasi tersebut sebagai debitur harus lah memenuhi kebajiban dalam prestasi yang telah di perjanjikan.
Reverensi
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
Putusan MK No.18/PUU-XVII/2019
Penulis : M.Fajri