Opini|Pilaradvokasi.com Seluruh elemen masyarakat maupun penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serta para Aparat Penegak Hukum harus tetap waspada akan adanya potensi kecurangan pada ajang Pilkada Tahun 2024.
Adapun beberapa potensi kecurangan yang sering kita jumpai yakni :
Pertama, Intimidasi. Intimidasi ini kerap sekali kita jumpai dikalangan masyarakat seperti mengintimidasi agar memilih salah satu paslon, membuat pemilih takut untuk memilih, menghasut agar tidak mau datang ketempat Pemungutan Suara (TPS).
Kedua, Distruption atau Gangguan. Kecurangan ini dimaksudkan dengan menimbulkan gangguan-gangguan sehingga menciptakan situasi tidak kondusif baik sebelum, pada saat pemungutan suara maupun setelah pemungutan suara.
Ketiga, Misinformation, yakni dengan menyebarkan informasi yang tidak benar kepada masyarakat.
Keempat, Registration Fraud atau Penipuan Pendaftaran. Kecurangan ini dilakukan dengan memanipulasi data sehingga pemilih tidak memiliki hak untuk memilih.
Kelima, Vote Buying atau Pembelian Suara. Contohnya serangan fajar. Terakhir, kecurangan berupa ujaran kebencian.
Dengan berbagai potensi kecurangan yang bisa saja terjadi tentu hal ini membutuhkan kolaborasi dari seluruh elemen, mulai dari pemerintah, aparat, penyelenggara, hingga masyarakat guna mewujudkan proses pilkada yang langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil, sebagaimana prinsip pemilihan yang diatur dalam konstitusi. Yang tidak kalah pentingnya, setiap paslon harus mengimbau kepada setiap basis dukungan dan relawan untuk tidak melakukan cara-cara yang tidak diperbolehkan oleh konstitusi kita, sehingga asas jujur dan adil dapat terwujud dengan baik.
Bentuk-bentuk kecurangan dalam ajang pilkada tentu perlu diantisipasi, sebab sangat mungkin jika potensi kecurangan yang terjadi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Seperti jual beli suara, politik uang, pengubahan suara, pemalsuan tanda tangan.
Potensi Kecurangan-kecurangan tersebut perlu diantisipasi dengan baik dalam pemilihan kepala daerah.
Guna merealisasikan pilkada yang jujur dan adil tentu harus didukung dengan transparansi oleh penyelenggara, dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Keduanya harus memaksimalkan keterbukaan data pemilu untuk mencegah terjadinya kecurangan. Jika mengacu pada konsep dari National Democratic Institute (NDI) (2014), terdapat 16 data kunci yang diharapkan dapat terbuka seperti salah satunya kerangka hukum, peta dapil, profil penyelenggara pemilu di setiap tingkatan, catatan proses yang dijalankan penyelenggara pemilihan.
Prinsip Keterbukaan pada ajang pilkada diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemilu menjadi lebih berintegritas. Kemudian, dengan asas keterbukaan tentunya akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Termasuk dalam mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran dalam proses pilkada.
Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini sangat penting untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Integritas pemilihan dapat berjalan ketika seluruh rangkaian proses pemilihan tersebut mencerminkan keinginan dari para pemilih.Sehingga masyarakat mempercayai proses tersebut dan mereka mau menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara.
Untuk itu setiap tahapan pilkada harus dilaksanakan secara terbuka dan transparan untuk memastikan setiap orang mendapatkan informasi yang mereka perlukan.
Penulis : Bostang