Pilaradvokasi.com
Bahwa pada Pasal 1230 KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) terdapat 4 syarat yang menjadi sah nya sebuah perjanjian secara umum, yaitu :
1. Kesepakatan atar para pihak
2. Kecakapan hukum para pihak
3. Adanya pokok persoalan yang diperjanjikan dan
4. Kausa yang diperbolehkan
Secara umum, penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada kewajiban untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Akan tetapi undang – undang terkadang membuat pengecualian terhadap beberapa bentuk perjanjian agar dibentuk secara tertulis, yakni berdasarkan buku (Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012, hal. 146) :
1. Perjanjian hibah kecuali hibah hak atas tanah, dalam bentuk akta notaris;
2. Perjanjian pemberian kuasa untuk memasang hipotek atas kapal, dalam bentuk akta notaris;
3. Perjanjian subrogasi, dalam bentuk akta notaris;
4. Perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan, dalam bentuk akta pejabat pembuat akta tanah;
5. Perjanjian jaminan fidusia, dalam bentuk akta notaris.
Lalu bagaimana membuktikan perjanjian yang tidak tertulis dipersidangan?
Banyak kita jumpai dipersidangan untuk membuktikan atau memperjuangkan haknya terkait perjanjian, para pihak berperkara mengajukan bukti tertulis dihadapan majelis.
Akan tetapi, perlu diingat oleh Mahasiswa/Praktisi Hukum bahwa ada lima (5) jenis alat bukti yakni berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) :
1. Bukti tulisan
2. Keterangan saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
Maka atas keempat jenis alat bukti diatas maka terdapat pilihan lain selain bukti tertulis, seperti keterangan saksi, persangkaan dan pengakuan atau sumpah sebagai pembuktian bahwa adanya perjanjian para pihak.
Tak hanya itu, Pengadilan harus memutuskan suatu perkara tidak boleh mengenyampingkan prinsip unus testis nullus testis artinya bahwa suatu keterangan saksi yang tidak diperkuat alat bukti lain tidak boleh dipercaya oleh Majelis Hakim sebagai suatu kebenaran. Berdasarkan Pasal 1905 KUH Perdata jo. Pasal 169 HIR
Maka seharusnya dalam membuktikan suatu perjanjian yang tidak tertulis dihadapan Pengadilan, tidak mutlak harus dibuktikan berdasarkan alat bukti tertulis.
Bahwa selain 5 jenis alat bukti diatas, ternyata bukti elektronik seperti rekaman suara, foto, video, voice note maupun surel dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini telah ditegaskan pada pasal 5 ayat (1) Uu No 1 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa khusus untuk informasi dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang (berdasarkan penjelasan pasal 5 ayat (1) UU NO.1 tahun 2024.
Demikian menurut penjelasan kami, semoga bermanfaat
Referensi :
1. Muhammad Syaifuddin. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum. Bandung: CV. Mandar Maju, 2012
2. HIR
3. KUHPerdata
4. Uu No. 1 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penulis : Muhammad Alfin, SH
Tentang : Hukum Perdata