Pilaradvokasi.com
Hakikatnya, perkawinan memiliki sisi hukum perdata, terdapat didalamnya berbagai ketentuan yang akhirnya menjadi azas (aturan dasar) perkawinan, hal ini diatur dalam penjelasan Undang – undang Perkawinan yaitu :
1. Azas Sukarela
Dalam perkawinan hal ini sangat penting, baik kesukarelaan diantara kedua mempelai maupun orang tua mempelai yang akan melakukan perkawinan termasuk yang bertugas sebagai wali. Rasulullah menyatakan hal ini dengan tegas dibeberapa hadits.
2. Azas persetujuan
Azas ini merupakan konsekuensi dari pada azas pertama, dimaknai dengan tidak adanya paksaan pada kedua pihak, misalnya apabila seorang wanita akan menikah maka orang tua atau wali harus menanyakan pada siwanita yang akan menikah atau dinikahkan, jika perkawinan dilangsungkan tanpa ada kesepakatan dari keduanya maka perkawinan Pengadilan bisa membatalkannya.
3. Azas bebas memiliki
Dikisahkan disebuah riwayat Nabi. Saw bahwa seseorang dapat memilih antara dua yaitu tetap meneruskan perkawinan yang ada dengan orang yang tidak disukainya atau meminta dibatalkan perkawinannya dan memilih seseorang yang disukainya.
4. Azas kemitraan
Adanya azas ini karena adanya tugas dan fungsi dari setiap pasangan yang berbeda, karena perbedaan kodrat.
5. Azas selamanya
Azas ini berbicara bahwa perkawinan adalah sesuatu yang dibangun untuk menciptakan hubungan jangka panjang. Azas ini menjadi dasar tidak diperbolehkannya nikah mut’ah (nikah “kontrak”).
6. Azas monogami terbuka
Undang – undang Perkawinan No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 3 ayat (1) mengataka seorang suami hanya di ijinkan memiliki seorang istri begitu sebaliknya. Hal ini tidak dikatakan mutlak karena azas ini memiliki tujuan untuk mempersempit tujuan poligami, bukan melarang atau menghapuskan poligami. (Tinuk dwi cahyani, “Hukum Perkawinan”, Universitas Muhammadiyah, Malang: hal. 7)
Atas 6 azas tersebut, jelas bahwa perkawinan merupakan perbuatan hukum. Jika salah satu dari perbuatan hukum tersebut dilangkar maka dapat menerima konsekuensi hukum yang akan dihadapi.
Bagi seorang suami dimungkinkan memiliki istri lebih dari seorang atau poligami jika memenuhi persyaratan tertentu, yakni mendapatkan izin dari Pengadilan, yang mana salah satu syarat diberikannya izin tersebut adalah adanya persetujuan dari istri sah kecuali dalam kondisi – kondisi khusus.
Maksud dari kondisi khusus ialah dimana persetujuan dari istri tidak diperlukan ketika suami akan poligami adalah jika istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan sebagaimana dijelaskan pada pasal 5 ayat (2) Uu No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Jadi, bagaimana pidana bagi suami yang Poligami tanpa Izin Istri sah?
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang perbuatan seorang suami yang melangsungkan pernikahan (poligami) tanpa izin Pengadilan merupakan TINDAK PIDANA sebagaimana diatur pada pasal 279 KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1. Barang siapa mengadakan pernikahan padahal mengetahui bahwa pernikahan atau pernikahan-pernikahannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2. Barangsiapa mengadakan pernikahan padahal diketahui bahwa pernikahannya atau pernikahan-pernikahan pihak lain menjadi pernikahan yang sah untuk itu.
2. Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1 menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Berbeda dengan penjelasan pasal 402 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang baru berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026. Poligami tanpa izin diatur yakni :
1. Dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, setiap orang yang:
a. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut; atau
b. melangsungkan perkawinan, padahal diketahui bahwa perkawinan yang ada dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut.
2. Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyembunyikan kepada pihak yang lain bahwa perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV
Menurut UU diatas denda kategori IV adalah sebesar Rp. 200 juta rupiah.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa seorang suami menikah lagi tanpa izin dapat dipidana. Langkah hukumnya dapat melaporkan ke Kepolisian atas dugaan pelanggaran pasal tersebut diatas
Yurisprudensi Putusan MA No. 1311K/PID/2000 terkait Putusan Pidana Poligami tanpa Izin Istri
Pada putusan ini, diketahui bahwa terdakwa yang sudah beristri menikah lagi untuk kedua kalinya tanpa izin dari istri yang pertama.
Dengan demikian , Majelis Hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “melakukan perkawinan, sedangkan perkawinannya yang sudah ada menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi” dengan hukuman pidana penjara selama 4 bulan.
Demikian penjelasan dari kami, semoga dapat dipahami.
Daftar pustaka :
1. Tinuk dwi cahyani, “Hukum Perkawinan”, Universitas Muhammadiyah, Malang
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
3. Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
4. Uu No. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana
5. Putusan MA No. 1311K/PID/2000 terkait Putusan Pidana Poligami tanpa Izin Istri
Penulis : Muhammad Alfin, SH
Tentang : Hukum Keluarga