Banyak perkara cukup menuai kotroversi dalam penegakan hukum di Pengadilan Negeri Rantauprapat, khususnya dalam menjatuhi hukuman dalam Perkara Narkotika di Pengadilan Negeri Rantauprapat yang sering dianulir oleh Mahkamah Agung, khususnya adalah perkara Narkotika yang barang bukti dibawah satu gram..
Pada prakteknya, sering Pengadilan Negeri di Rantauprapat menjatuhi hukuman diatas 5 tahun untuk penyalahguna narkotika biarpun barang bukti yang dihadirkan dipersidangan dibawah 1 gram dengan alasan hokum Terdakwa terbukti secara meyakinkan melanggar pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang notabene ancaman hukumannya minimal 4 Tahun tetapi pada saat Terdakwa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam hal penjatuhan hukuman dianulir oleh Hakim Agung dan memperbaiki putusan sepanjang hukuman yang dijatuhkan di dibawah 4 tahun dimana dibawah limitative pasal 112 ayat (1)
Selarasnya penjatuhan hukuman yang tinggi di Pengadilan Negeri Rantauprapat tersebut karena tindakan Penuntut Umum yang tidak mendakwakan pasal yang seharusnya juga didakwakan kerap terjadi dalam perkara narkotika. Dalam beberapa perkara Penuntut Umum tidak mendakwakan juga Terdakwa yang jelas-jelas merupakan penyalahguna yang kedapatan memiliki sejumlah narkotika dalam jumlah yang relatif sangat kecil dengan pasal penyalahguna (127 UU 35 Tahun 2009) yang ancamannya paling tinggi 4 tahun, namun hanya dengan pasal lainnya yang ancamannya minimal 4 tahun dan denda minimal 800 juta rupiah (Pasal 111 (1), 112 (1) atau 114 (1) UU 35 Tahun 2009) Akan tetapi tampaknya MA mulai ‘gerah’ atas banyaknya tindakan Penuntut Umum yang demikian, yang merugikan terdakwa serta mengunci pengadilan dengan tidak mendakwakan sebagai penyalahguna Narkotika sebagaimana pasal 127 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Terobosan ini mulai dilakukan oleh Mahkamah Agung, dengan merujuk pada dua putusan perkara narkotika ini, yaitu perkara M. Arifin bin Sukari (Nomor 2447 K/Pid.Sus/2011) dan perkara Ardianto Subroto (Nomor 2598 K/Pid.Sus/2011). Dalam kedua perkara ini Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung oleh karena baik Pengadilan Tingkat Pertama maupun Banding menjatuhkan hukuman atas dakwaan yang tidak didakwakan, Penuntut Umum hanya mendakwa para terdakwa dengan pasal kepemilikan narkotika namun Pengadilan justru menjatuhkan hukuman dengan pasal penyalahguna. Dalam kedua perkara ini Mahkamah Agung seakan kedua putusan Judex Facti tersebut dan berpendapat bahwa memang seharusnya keduanya didakwa dengan pasal penyalahguna (127 UU 35 Tahun 2009) bukan dengan pasal kepemilikan. Mahkamah Agung menilai bahwa Penuntut Umum menafsirkan pasal kepemilikan (111 ayat (1), 112 (1) dan 114 (1) 35/2009) tidak sesuai dengan ruh ketentuan-ketentuan tersebut. Memang benar bahwa Terdakwa memiliki narkotika pada saat ditangkap, namun MA menilai bahwa kepemilikan tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk dikonsumsi sendiri, dengan demikian seharusnya pasal yang didakwakan adalah pasal 127 UU 35/2009
Lebih jauh lagi MA seakan memberikan teguran yang cukup keras atas praktik-praktik Penuntut Umum yang demikian, khususnya dalam perkara M. Arifin bin Sukari. Dalam point 6 Pertimbangan putusannya MA menyatakan
“Bahwa sudah menjadi tren penegakkan hukum tindak pidana Narkotika atau psikotropika meskipun faktanya Terdakwa sebagai penyalahguna, namun Terdakwa tidak dilakukan pemeriksaan urine dan tidak didakwa Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sebaliknya Jaksa/Penuntut Umum mendakwa dengan pasal yang lebih berat misalnya Pasal 111 (1) jo Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 yang tidak sesuai dengan jiwa atau rohnya ketentuan tersebut ;”
Dalam pertimbangan berikutnya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dalam kondisi seperti ini maka Mahkamah Agung akan menerapkan pasal 127 UU 35/2009 walaupun tidak didakwakan untuk mengatasi penegakan hukum yang tidak adil. Mahkamah Agung khususnya dalam perkara M. Arifin bin Sukari bahkan menyatakan akan mempertimbangan putusannya sebagai Yurisprudensi yang bisa dijadikan dasar hukum bagi pengadilan dalam perkara serupa.
Putusan Mahkamah Agung “abu-abu”
Pertimbangan di atas tentunya sangat penting, dan menerobos pakem yang selama ini dianut tentunya. Tapi sayangnya, setelah panjang lebar menguraikan pertimbangannya tersebut yang seakan ingin membenarkan putusan judex facti. Mahkamah agung hanya memperbaiki lamanya penjatuhan hukuman pada Terdakwa tanpa membatalkan putusan judex facti, serta menyatakan terdakwa tersebut terbukti bersalah melanggar pasal 112 (1) UU 35 Tahun 2009 bukannnya dengan pasal 127 UU 35 Tahun 2009.
Aneh. Sungguh aneh. Pertanyaannya kini, dengan merujuk pada kedua putusan ini jadinya apakah diperbolehkan Pengadilan menjatuhkan hukuman atas apa yang tidak didakwakan namun seharusnya didakwakan? Jika putusan ini akan diikuti oleh Pengadilan, yang mana yang harus diikuti? Sungguh suatu terobosan hukum yang nanggung dan abu-abu dari Mahkamah Agung.
Padahal Mahkamah Agung sendiri telah membuat Peraturan bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor: 01/pb/ma/iii/2014 tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalah gunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitas yang juga di tandatangani dan disepakati oleh menteri hukum dan hak asasi manusia republik indonesia, menteri kesehatan republik indonesia, menteri sosial republik indonesia, jaksa agung republik indonesia, kepala kepolisian negara republik indonesia, kepala badan narkotika nasional republik Indonesia yang di dicantumkan tentang batasan netto narkotika jenis sabu yang masuk dalam kategori ini beratnya adalah maksimal satu (1) gram.
Bahwa dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung juga sering kali dimuat tentang adanya ketidak_jujuran_dalam proses pemidanaan terhadap Penyalaguna Narkotika, proses ketidak jujuran tersebut selalu berawal dari tingkat penyidikan, penyidikan selalu menjerat dengan pasal-pasal yang memberatkan Tersangka padahal belum tentu unsur delik yang disangkakan sesuai dengan peristiwa yang nyata, akan tetapi dalam putusan akhr Mahkamah Agung tidak pernah membatalkan Putusan tingkat pertama dan banding, akan tetapi lebih memilih untuk memperbaiki penjatuhan masa hukuman kepada Terdakwa sebagai Pemohon kasasi menjadi lebih ringan dan menerobos penerapan pasal 127 (1) yaitu hanya sebagai penyalahguna Narkotika
Oleh karena itu perlu ketegasan Mahkamah Agung dalam membuat Putusan yang tentunya hal ini menyangkut rasa keadilan bagi pencari keadilan sebagaimana fungsi Putusan yang harus memiliki rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Ditulis Oleh: Harris Nixcon Tambunan, SH
Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Universitas Labuhan Batu